Pakar Hukum Tata Negara: MK Bisa Batalkan Keputusan KPU
JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin menilai keliru jika dikatakan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dikatakan tak memiliki kedudukan hukum sebagai pihak pemohon dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi dengan alasan telah menarik diri dari proses saat penghitungan suara pilpres 2014.
Irman menyatakan hal tersebut saat menjadi saksi ahli dalam sidang perkara PHPU Pilpres 2014 di MK, Jumat (15/8).
Menurutnya, dalam perkara konstitusi tidak ada yang menang dan kalah. Sebab hukum konstitusional hanya mengenal presiden dan wapres terpilih yang akan dilantik.
"Kalau dikatakan tidak memiliki kedudukan hukum maka pemilu inkonstitusional. Karena tidak mungkin pemilu presiden hanya diikuti satu calon. Maka DPR bisa membatalkan pelantikan," kata Irman di ruang sidang pleno seperti diberitakan ROL.
Menurutnya, pertanyaan utama yang perlu dibahas apakah hasil pilpres 2014 konstitusional atau tidak. Sebab, semua orang seolah terseret dalam irama apakah pelanggaran signifikan mempengaruhi hasil pemilu.
Padahal sidang konstitusi berdasarkan hukum konstitusi. Hakim konstitusi bukan hanya berkutat pada angka dengan hukum kalkulator. Tapi hukum konstitusional.
Hukum konstitusi perkara PHPU memiliki prinsip sama dengan pengkajian perkara lainnya seperti undang-undang.
"Kalau ada pihak yang merasa dirugikan dan itu terbukti maka MK bisa membatalkan keputusan KPU. Bukan hal aneh kalau keputusan KPU, kemudian dinilai melanggar konstitusi bisa dibatalkan. Satu orang warga yang dicederai bisa membatalkan keputusan jika terbukti melanggar konstitusi," imbuhnya.
Irman mengatakan, permohonan perkara PHPU tersebut bukan ruang hampa. Tetapi memiliki denyut hampir 70 juta warga.
Menurutnya, hukum konstitusi tidak sederhana. Tapi pemilu bisa inkonstutisional kalau prosesnya tidak sempurna. "Keliru kalau permohonan ini dinilai capres-cawapres nomor urut satu tidak siap kalah dan haus kekuasaan," kata Irman.
Pilpres, kata Irman, membutuhkan basis pondasi pasal 22 e UUD 1945 tentang prinsip luber jurdil. Tapi harus ditopang prinsip Indonesia sebagai negara hukum.
Artinya, prinsip negara hukum yakni adanya jaminan kepastian hukum pilpres. Sehingga harus dijamin pemilu tidak melanggar luber jurdil. "Ketiadaan jaminan MK, hasil pemilu akan menyimpan turbulensi politik yang mengganggu pemerintahan," jelasnya.
Sidang ketujuh yang membahas perkara PHPU Pilpres 2014 tersebut mengagendakan MK mendengar keterangan saksi ahli dari pihak pemohon, termohon dan pihak terkait.
0 komentar :
Posting Komentar