Islamedia.co - Laporan Human Right Watch (HRW) menuduh As-Sisi telah melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Tuduhan HRW ini diharapkan bisa menjadi langkah awal perjuangan agar para korban -yang banyaknya tidak terhitung itu-bisa mendapat keadilan.
Medali King Abdul Aziz adalah medali tertinggi Kerajaan Saudi Arabia yang biasanya dianugerahkan kepada tokoh-tokoh dunia. Medali ini sudah banyak menghiasi leher petinggi dunia semisal George W. Bush, Vlademir Putin, Basyar Al-Asad, dan selanjutnya As-Sisi.
Pada Ahad (10/08) yang lalu, King Abdul Aziz mengalungkan leher As-Sisi dengan medali. As-Sisi adalah orang yang direkomendasikan oleh HRW untuk diperiksa dengan tuduhan melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Waktu penganugerahan medali dari Sang Pendananya ini bisa jadi sangat tiba-tiba tanpa terencana, namun bisa dipastikan penganugerahan ini adalah respon emosional atas kejadian besar yang penuh dengan rasa keputusasaan, sebab penganugerahan ini bertepatan dengan minggu pertama peringatan pembantaian Rab'ah dan Nahdhah Di Kairo yang oleh HRW disebut sebagai "pembantaian terbesar terhadap demonstran damai yang dilakukan dalam satu hari yang akan diabadikan oleh sejarah sebagai pembantaian yang paling berdarah dan super sadis melebihi kesadisan pembantaian lapangan Tiananmen. Sampai saat ini, pembantaian Rab'ah adalah kasus terbesar yang pernah ditangani oleh HRW sebagai organisasi yang paling berpengalaman dalam masalah-masalah kemanusiaan.
Tidak seperti yang diisukan bahwa HRW adalah satu dari sekian organisasi kemanusiaan yang seperti sudah tidak peduli lagi dengan tugas kemanusiannya dan lebih memilih mundur dari lapangan tempur bidang hak asasi manusia. Buktinya, sekarang HRW mengeluarkan laporan komprehensif yang memakan waktu 1 tahun terkait pembubaran demonstrasi damai yang dilakukan oleh Pemerintahan kudeta militer dengan cara kekerasan dan berdarah, di lapangan Rab'ah dan Nahdhah pada 14 Agustus tahun lalu.
Laporan tersebut menyebut As-Sisi dan dua lainnya sebagai pihak yang bertanggungjawab langsung terhadap pembantaian tersebut, bukan hanya itu bahkan HRW menuduh bahwa para petinggi kudeta tersebut membantai demonstran dengan sengaja, sebagai buktinya adalah: para petinggi Kemendagri Mesir mengungkapkan pada sebuah pertemuan dengan beberapa organisasi hak manusia tepatnya 9 hari sebelum pembantaian bahwa mereka memperkirakan bahwa jumlah korban nyawa pembubaran Rab'ah dan Nahdhah akan mencapai 3500 orang.
Sebagaimana Mentri Pertahanan yang waktu itu dijabat oleh As-Sisi yang waktu itu adalah Panglima Angkatan Bersenjata, juga mengakui bahwa mereka menghabiskan waktu berhari-hari untuk membicarakan semua tehnis terkait pembubaran demonstrasi Rab'ah.
Pada kesempatan lain, Mendagri Muhammad Ibrahim menyiapkan langkah-langkah penyebaran personil, dan mengakui jika dirinya memerintahkan kepada Pasukan Khusus dari satuan Polisi untuk melakukan supporting dan pembersihan bangunan-bangunan utama sekitar lapangan Rab'ah. Sementara itu Madhat Alminsyawi, Kepala Pasukan Khusus dan Kepala Pembantaian Rab'ah dengan bangganya melapor kepada Mendagri Muhammad Ibrahim: "apapun yang akan terjadi, kami akan tetap menyerang". Selain itu, Kepala Intelijen Muhammad Farid Al-Tuhami, 8 perwakilan dari Mendagri, 3 petinggi Militer, dan sejumlah lain dari pegawai pemerintah kelas atas, juga ikut terlibat. Seperti yang dilaporkan oleh HRW.
HRW juga melaporkan bahwa polisi membunuh para demonstran -yang tidak bersenjata-dengan peluru tajam, dan penembakan dilakukan dengan sembarangan yang diarahkan kepada lautan demonstran dari atas bangunan. Cara-cara ini membuktikan bahwa personal keamanan tidak sedang merasa terancam akan dapat serangan peluru dari para demonstran damai.
Laporan HRW juga menyatakan bahwa pemerintah kudeta Mesir sudah terlebih dahulu merencanakan dan lalu mengeksekusi kejahatan pembubaran demonstran dengan cara kekerasan yang menyebabkan pembunuhan demonstran secara massal tanpa ada upaya peringatan terlabih dahulu dan membiarkan para demonstran keluar dari lapangan dengan selamat.
Apa pentingnya laporan HRW?
Ini adalah untuk pertama kalinya pemeriksaan dilakukan pada serentetan petinggi dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam memberikan perintah pembantaian, dimana laporan tersebut dapat menetapkan identitas orang-orang yang tertuduh oleh berbagai organisasi Internasional Kemanusiaan sekelas HRW. Hal ini menjadi faktor utama kemenangan pada pengadilan internasional di Lahai nanti.
Meskipun Mesir bukanlah anggota di Pengadilan Pidana Internasional dan ada kemungkinan Pengadilan Internasional akan membuat halangan-halangan agar para pelaku pembantaian tidak diadili, namun laporan HRW sangat valid dan credibility, sementara pengadilan-pengadilan nasional di Inggris sangat mendukung untuk mengarahkan berbagai tudingan terhadap penguasa Mesir saat ini.
Sebagaimana laporan ini juga adalah pertama kali dimana hasil pemeriksaan membuktikan tidak sahnya klaim pemerintah kudeta Mesir yang mengatakan bahwa pihak keamanannya melepaskan tembakan untuk membela diri.
Selanjutnya, laporan HRW juga mengangkat permasalahan tanggung jawab kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh beberapa pemerintahan negara yang terus menerus mempersenajatai As-Sisi dan melakukan kontak-kontak resmi dengan rezim As-Sisi.
Pelanggaran yang dilakukan As-Sisi tidak hanya terbatas pada pelanggaran hak asasi manusia, tapi pembantaian ribuan demonstan pada Agustus tahun lalu telah membuktikan bahwa pembantaian tersebut adalah permulaan era teror yang akhirnya merambah semua kelompok-kelompok yang anti kudeta, baik kelompok Islamis maupun sekuler, bahkan kelompok-kelompok yang awalnya ikut mendukung menjatuhkan Presiden Mursi--dengan cara kekerasan dan memenjarakannya--pun akhirnya ikut dibantai.
Operasi pembunuhan massal berikutnya dilakukan pada 2 Oktober 2013 dan 25 Januari 2014, sebagaimana As-Sisi juga menangkap dan memenjarakan tidak kurang dari 22 ribu jiwa pada berbagai operasi pengekangan dan pemburonan.
Meskipun sudah banyak pernyataan-pernyataan yang mengecam pembantaian massal, namun Uni Eropa dan AS tetap saja terus mendukung rezim kudeta yang tangannya secara efektif sudah berlumuran dengan darah.
Sebelumnya Washington sempat menahan sebahagian bantuan militernya pada Oktober tahun lalu, namun pada April tahun ini kembali Amerika menyerahkan 10 Pesawat Apache dan 650 juta dolar bantuan militernya dengan alasan membantu AS memerangi teroris dan mendukung keamanan nasional AS.
Menurut pengamatan Sarah Leah Whitson, Manager HRW Timur Tengah yang pada minggu lalu dilarang masuk Mesir bersama Kenneth Roth Executive Manager HRW, bahwa laporan HRW dapat menjadi dasar pelarangan semua bantuan militer ke Mesir oleh Kongres Amerika. Sarah Whitson mengatakan: " rekomendasi kami sangat jelas, kami tidak ingin melihat adanya senjata yang berasal dari masyarakat internasional yang digunakan untuk mengekang internal Mesir, khususnya senjata dari Amerika. Kami juga sudah mendesak Menlu AS John Kerry agar menjelaskan bahwa Mesir tidak mematuhi syarat-syarat bantuan militer".
Point penting berikutnya adalah para penjahat yang sudah melakukan kejahahatan terhadap kemanusiaan itu masih saja berupaya agar diterima secara norlan oleh dunia internasional. Tuhami -si Kepala Intelijen saat pembantaian Rab'ah- misalnya, masih saja menjabat sebagai penanggungjawab perundingan antara Israel dan Kelompok-Kelompok Perlawanan Palestina di Jalur Gaza. As-Sisi juga dapat dengan bebasnya berkeliaran ke Amerika tanpa pernah takut ditahan, walaupun dosa kemanusiaanya sudah sangat bahaya yang harusnya bisa dijerat pengadilan internasional lewat pengadilan-pengadilan lokal AS, Eropa dan Inggris.
Permasalahan yang diangkat HRW bisa dipaparkan secara sederhana sebagai berikut: "jika pembantaian yang dilakukan Kudeta Mesir berbuah penghargaan dan penganugerahan dan penggelontoran berbagai dana kepada para pelaku pembantaian dan bahkan pendirian monument penghargaan untuk mereka, maka sudah saatnya masyarakat internasional bertindak, baik pada level Komisi yang ada dibawah PBB, Liga Arab maupun Uni Afrika.
Tapi hal itu tidak akan terjadi tentunya, karena para pelaku pembantaian itu -seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya pada penguasa-penguasa diktator Amerika Latin- adalah konco-konconya Barat. Amerika dan Uni Eropa akan memberikan perlindungan kepada mereka dengan cara mendiamkan kasus-kasus pembantaian yang mereka lakukan, dan bahkan Barat menikmati perlindungan ini dengan ikut terlibat- dan dengan begitu mudahnya mereka lakukan-pada pembantaian-pembantaian berdarah lainnya seperti di Libya, dengan menggunakan heli-heli yang disumbangkan Amerika kepada Haftar. Selama kejahatannya tidak tersentuh hukum maka pada realitanya As-Sisi akan menjadi biang kerok berbagai kekacauan yang terjadi di Timur Tengah.
Gendrang perang dalam rangka membuktikan kebenaran kasus pembantaian yang terjadi di Kairo pada 14 Agustus tahun lalu sudah ditabuh. Meskipun arah menuju kehancuran As-Sisi akan menempuh jalan panjang dan berliku, namun laporan HRW akan menjamin status As-Sisi akan senantiasa menjadi buronan arwah-arwah gentayangan para korban yang dibantainya sampai As-Sisi mati.
Ditulis Oleh: David Hirst (Jurnalist Inggris dan Editor Portal Middle East Eye). Sebagaimana dilansir Watan.com, Rabu (15/08).(Syaff)
Medali King Abdul Aziz adalah medali tertinggi Kerajaan Saudi Arabia yang biasanya dianugerahkan kepada tokoh-tokoh dunia. Medali ini sudah banyak menghiasi leher petinggi dunia semisal George W. Bush, Vlademir Putin, Basyar Al-Asad, dan selanjutnya As-Sisi.
Pada Ahad (10/08) yang lalu, King Abdul Aziz mengalungkan leher As-Sisi dengan medali. As-Sisi adalah orang yang direkomendasikan oleh HRW untuk diperiksa dengan tuduhan melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Waktu penganugerahan medali dari Sang Pendananya ini bisa jadi sangat tiba-tiba tanpa terencana, namun bisa dipastikan penganugerahan ini adalah respon emosional atas kejadian besar yang penuh dengan rasa keputusasaan, sebab penganugerahan ini bertepatan dengan minggu pertama peringatan pembantaian Rab'ah dan Nahdhah Di Kairo yang oleh HRW disebut sebagai "pembantaian terbesar terhadap demonstran damai yang dilakukan dalam satu hari yang akan diabadikan oleh sejarah sebagai pembantaian yang paling berdarah dan super sadis melebihi kesadisan pembantaian lapangan Tiananmen. Sampai saat ini, pembantaian Rab'ah adalah kasus terbesar yang pernah ditangani oleh HRW sebagai organisasi yang paling berpengalaman dalam masalah-masalah kemanusiaan.
Tidak seperti yang diisukan bahwa HRW adalah satu dari sekian organisasi kemanusiaan yang seperti sudah tidak peduli lagi dengan tugas kemanusiannya dan lebih memilih mundur dari lapangan tempur bidang hak asasi manusia. Buktinya, sekarang HRW mengeluarkan laporan komprehensif yang memakan waktu 1 tahun terkait pembubaran demonstrasi damai yang dilakukan oleh Pemerintahan kudeta militer dengan cara kekerasan dan berdarah, di lapangan Rab'ah dan Nahdhah pada 14 Agustus tahun lalu.
Laporan tersebut menyebut As-Sisi dan dua lainnya sebagai pihak yang bertanggungjawab langsung terhadap pembantaian tersebut, bukan hanya itu bahkan HRW menuduh bahwa para petinggi kudeta tersebut membantai demonstran dengan sengaja, sebagai buktinya adalah: para petinggi Kemendagri Mesir mengungkapkan pada sebuah pertemuan dengan beberapa organisasi hak manusia tepatnya 9 hari sebelum pembantaian bahwa mereka memperkirakan bahwa jumlah korban nyawa pembubaran Rab'ah dan Nahdhah akan mencapai 3500 orang.
Sebagaimana Mentri Pertahanan yang waktu itu dijabat oleh As-Sisi yang waktu itu adalah Panglima Angkatan Bersenjata, juga mengakui bahwa mereka menghabiskan waktu berhari-hari untuk membicarakan semua tehnis terkait pembubaran demonstrasi Rab'ah.
Pada kesempatan lain, Mendagri Muhammad Ibrahim menyiapkan langkah-langkah penyebaran personil, dan mengakui jika dirinya memerintahkan kepada Pasukan Khusus dari satuan Polisi untuk melakukan supporting dan pembersihan bangunan-bangunan utama sekitar lapangan Rab'ah. Sementara itu Madhat Alminsyawi, Kepala Pasukan Khusus dan Kepala Pembantaian Rab'ah dengan bangganya melapor kepada Mendagri Muhammad Ibrahim: "apapun yang akan terjadi, kami akan tetap menyerang". Selain itu, Kepala Intelijen Muhammad Farid Al-Tuhami, 8 perwakilan dari Mendagri, 3 petinggi Militer, dan sejumlah lain dari pegawai pemerintah kelas atas, juga ikut terlibat. Seperti yang dilaporkan oleh HRW.
HRW juga melaporkan bahwa polisi membunuh para demonstran -yang tidak bersenjata-dengan peluru tajam, dan penembakan dilakukan dengan sembarangan yang diarahkan kepada lautan demonstran dari atas bangunan. Cara-cara ini membuktikan bahwa personal keamanan tidak sedang merasa terancam akan dapat serangan peluru dari para demonstran damai.
Laporan HRW juga menyatakan bahwa pemerintah kudeta Mesir sudah terlebih dahulu merencanakan dan lalu mengeksekusi kejahatan pembubaran demonstran dengan cara kekerasan yang menyebabkan pembunuhan demonstran secara massal tanpa ada upaya peringatan terlabih dahulu dan membiarkan para demonstran keluar dari lapangan dengan selamat.
Apa pentingnya laporan HRW?
Ini adalah untuk pertama kalinya pemeriksaan dilakukan pada serentetan petinggi dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam memberikan perintah pembantaian, dimana laporan tersebut dapat menetapkan identitas orang-orang yang tertuduh oleh berbagai organisasi Internasional Kemanusiaan sekelas HRW. Hal ini menjadi faktor utama kemenangan pada pengadilan internasional di Lahai nanti.
Meskipun Mesir bukanlah anggota di Pengadilan Pidana Internasional dan ada kemungkinan Pengadilan Internasional akan membuat halangan-halangan agar para pelaku pembantaian tidak diadili, namun laporan HRW sangat valid dan credibility, sementara pengadilan-pengadilan nasional di Inggris sangat mendukung untuk mengarahkan berbagai tudingan terhadap penguasa Mesir saat ini.
Sebagaimana laporan ini juga adalah pertama kali dimana hasil pemeriksaan membuktikan tidak sahnya klaim pemerintah kudeta Mesir yang mengatakan bahwa pihak keamanannya melepaskan tembakan untuk membela diri.
Selanjutnya, laporan HRW juga mengangkat permasalahan tanggung jawab kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh beberapa pemerintahan negara yang terus menerus mempersenajatai As-Sisi dan melakukan kontak-kontak resmi dengan rezim As-Sisi.
Pelanggaran yang dilakukan As-Sisi tidak hanya terbatas pada pelanggaran hak asasi manusia, tapi pembantaian ribuan demonstan pada Agustus tahun lalu telah membuktikan bahwa pembantaian tersebut adalah permulaan era teror yang akhirnya merambah semua kelompok-kelompok yang anti kudeta, baik kelompok Islamis maupun sekuler, bahkan kelompok-kelompok yang awalnya ikut mendukung menjatuhkan Presiden Mursi--dengan cara kekerasan dan memenjarakannya--pun akhirnya ikut dibantai.
Operasi pembunuhan massal berikutnya dilakukan pada 2 Oktober 2013 dan 25 Januari 2014, sebagaimana As-Sisi juga menangkap dan memenjarakan tidak kurang dari 22 ribu jiwa pada berbagai operasi pengekangan dan pemburonan.
Meskipun sudah banyak pernyataan-pernyataan yang mengecam pembantaian massal, namun Uni Eropa dan AS tetap saja terus mendukung rezim kudeta yang tangannya secara efektif sudah berlumuran dengan darah.
Sebelumnya Washington sempat menahan sebahagian bantuan militernya pada Oktober tahun lalu, namun pada April tahun ini kembali Amerika menyerahkan 10 Pesawat Apache dan 650 juta dolar bantuan militernya dengan alasan membantu AS memerangi teroris dan mendukung keamanan nasional AS.
Menurut pengamatan Sarah Leah Whitson, Manager HRW Timur Tengah yang pada minggu lalu dilarang masuk Mesir bersama Kenneth Roth Executive Manager HRW, bahwa laporan HRW dapat menjadi dasar pelarangan semua bantuan militer ke Mesir oleh Kongres Amerika. Sarah Whitson mengatakan: " rekomendasi kami sangat jelas, kami tidak ingin melihat adanya senjata yang berasal dari masyarakat internasional yang digunakan untuk mengekang internal Mesir, khususnya senjata dari Amerika. Kami juga sudah mendesak Menlu AS John Kerry agar menjelaskan bahwa Mesir tidak mematuhi syarat-syarat bantuan militer".
Point penting berikutnya adalah para penjahat yang sudah melakukan kejahahatan terhadap kemanusiaan itu masih saja berupaya agar diterima secara norlan oleh dunia internasional. Tuhami -si Kepala Intelijen saat pembantaian Rab'ah- misalnya, masih saja menjabat sebagai penanggungjawab perundingan antara Israel dan Kelompok-Kelompok Perlawanan Palestina di Jalur Gaza. As-Sisi juga dapat dengan bebasnya berkeliaran ke Amerika tanpa pernah takut ditahan, walaupun dosa kemanusiaanya sudah sangat bahaya yang harusnya bisa dijerat pengadilan internasional lewat pengadilan-pengadilan lokal AS, Eropa dan Inggris.
Permasalahan yang diangkat HRW bisa dipaparkan secara sederhana sebagai berikut: "jika pembantaian yang dilakukan Kudeta Mesir berbuah penghargaan dan penganugerahan dan penggelontoran berbagai dana kepada para pelaku pembantaian dan bahkan pendirian monument penghargaan untuk mereka, maka sudah saatnya masyarakat internasional bertindak, baik pada level Komisi yang ada dibawah PBB, Liga Arab maupun Uni Afrika.
Tapi hal itu tidak akan terjadi tentunya, karena para pelaku pembantaian itu -seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya pada penguasa-penguasa diktator Amerika Latin- adalah konco-konconya Barat. Amerika dan Uni Eropa akan memberikan perlindungan kepada mereka dengan cara mendiamkan kasus-kasus pembantaian yang mereka lakukan, dan bahkan Barat menikmati perlindungan ini dengan ikut terlibat- dan dengan begitu mudahnya mereka lakukan-pada pembantaian-pembantaian berdarah lainnya seperti di Libya, dengan menggunakan heli-heli yang disumbangkan Amerika kepada Haftar. Selama kejahatannya tidak tersentuh hukum maka pada realitanya As-Sisi akan menjadi biang kerok berbagai kekacauan yang terjadi di Timur Tengah.
Gendrang perang dalam rangka membuktikan kebenaran kasus pembantaian yang terjadi di Kairo pada 14 Agustus tahun lalu sudah ditabuh. Meskipun arah menuju kehancuran As-Sisi akan menempuh jalan panjang dan berliku, namun laporan HRW akan menjamin status As-Sisi akan senantiasa menjadi buronan arwah-arwah gentayangan para korban yang dibantainya sampai As-Sisi mati.
Ditulis Oleh: David Hirst (Jurnalist Inggris dan Editor Portal Middle East Eye). Sebagaimana dilansir Watan.com, Rabu (15/08).(Syaff)
0 komentar :
Posting Komentar