Islamedia.co - Gencatan senjata sudah diberlakukan, debu perang telah usai beterbangan, ribuan mayat harus dikubur, darah harus dibersihkan, berton-ton puing harus disingkirkan, berapa bangunan harus dibangun kembali ?
Memang 64 tentara israel telah tewas di Gaza, bahkan jumlah ini lebih banyak daripada korban perang lebanon 2006 yang menewaskan 43 tentara israel. Namun berapa harga yang harus dibayar ? 2100 warga syahid, 10000 warga terluka, 1000 cacat permanen. Dan ini adalah perang mereka yang ketiga dalam kurun waktu 6 tahun. Luar biasa pengorbanan rakyat Gaza demi meraih kemerdekaannya. Namun apakah nyawa kaum muslimin berharga 64/2100 = 1/33 dari kaum yahudi ? Tentu tidaklah kaum muslimin lebih murah dari kaum agama lain. 1 nyawa tetaplah sangat berharga, dan bukan sekadar angka statistik.
"Robbana Maa Kholaqta Hadza Bathila, Subhanaka Faqinaa 'Adzaban Naar"
Ya Allah, tidak ada keputusanMu yang sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungi kami dari azab neraka.
Ya Allah, tidak ada keputusanMu yang sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungi kami dari azab neraka.
Ya, syahid di jalan Allah itulah memang cita-cita tertinggi umat islam. Namun, tentu harus ada ibrah yang bisa kita petik dari Gaza 2014. Apa yang bisa dilakukan umat Islam untuk mencegah jatuhnya satu korban kaum muslimin pada konflik berikutnya ?
Perang Gaza 2014 melahirkan setidaknya empat ibrah bagi seluruh umat Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam:
1. Penguasaan teknologi dirgantara vital bagi negara
Hamas vs Israel bagai david melawan goliath, yang menggunakan ketapel untuk menembak bagian vital raksasa goliath.
Seperti yang rasulullah sampaikan dalam hadisnya agar setiap pemuda muslim menguasai keahlian memanah, mengapa ? karena di dalam kegiatan memanah terdapat sebuah konsep ilmu dasar yang disarikan dari ilmu fisika, yaitu ilmu balistik yang mengkaji pelemparan benda dengan gerakan berubah lurus beraturan atau GLBB. Karena wahana yang dilemparkan menggunakan udara sebagai medium, maka ilmu balistik ini tidak terlepas dari ilmu aerodinamika (dan ilmu astronotika jika wahana keluar dari atmosfer).
Sebetulnya dari segi korban perang bagi warga Gaza, perang kali ini tidak berbeda dengan sebelumnya, namun yang membedakan kali ini adalah kemampuan Hamas untuk mengatur tempo gencatan senjata dan mengatur ritme peperangan, bahkan bisa menaikkan syarat gencatan senjata dengan klausul pembuatan pelabuhan dan bandara internasional. Mengapa ini bisa terjadi ? Karena kemampuan Hamas dalam hal ini Brigade al-Qassam untuk memproduksi sendiri roket M-75 yang terbukti mampu melumpuhkan bandara internasional Israel di Tel Aviv, menunjukkan adanya kemandirian teknologi di bidang dirgantara. Di sinilah 'game changer' itu terjadi. PBB pun mengakui kehebatan rakyat Gaza di bidang dirgantara ini sehingga mendirikan UNESCO Chair in Astronomy, Astrophysics and Space Sciences, tahun 2012 di Islamic University of Gaza. Teknologi dirgantara ini jika dikuasai dengan baik bisa digunakan untuk menekan korban di pihak manapun. Sayang, dengan kemampuan dirgantaranya yang mumpuni, tentara Israel justru menggunakannya untuk meningkatkan jumlah korban di pihak sipil. Sedangkan di pihak Hamas mayoritas roketnya malah sama sekali tidak diberi bahan peledak, agar mengurangi jumlah korban, dan memang roket Hamas ditujukan untuk memenangkan psy war bukan membunuh.
2. Asymetric war
Tidak bisa dipungkiri bahwa jika kekuatan pihak yang berseteru memiliki kekuatan yang tidak imbang, maka yang terjadi adalah perang asymetris, yang akan melahirkan pembantaian. Namun dengan kematangan Hamas sebagai pengayom masyarakat, pembantaian rakyat Gaza akhirnya bisa dipadamkan dengan psy war yang terstruktur dan terencana yang bertujuan menciptakan attrition (erosi sumber daya) di pihak lawan yang dikombinasikan dengan kegigihan dan kejelian perjuangan politik dan penguasaan headline media massa tanpa rekayasa. Meraih simpati dunia itu penting... bahkan menjadi sangat strategis ketika bisa diubah menjadi keberpihakan dalam bidang ekonomi yang melahirkan boikot, diversifikasi dan sanksi ekonomi (BDS). BDS ini berkaitan erat dengan kesadaran dan psikologi seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam perang Gaza terakhir kemenangan BDS paling telak adalah ketika masyarakat Palestina di West Bank yang merupakan konsumen 70% dari produk ekspor israel bisa bangkit kepercayaan dirinya dan berani melepas ketergantungan pada produk israel, bahkan yang fantastis adalah ketika perusahaan Palestina kebanjiran order, sehingga harus menambah jumlah pabrik dan merekrut karyawan lebih banyak lagi. Kemerdekaan bangsa Palestina di bidang pangan, mulai terasa khususnya susu dan zaitun.
3. Ekstrimisme atau Gradualisme / Kebertahapan / Marhalahisme
Pada bulan Ramadhan 2014 ini kaum muslimin dipertontonkan pada dua peristiwa besar di kawasan Timur Tengah, selain Gaza, di Irak dan Syria, ISIS melakukan pembersihan etnis terhadap kaum kristen, etnis majusi dan yang ironis terhadap sesama mujahidin itu sendiri. Dan, sebaliknya tindakan ISIS yang sering over-provokatif ini malah memancing dua kekuatan digdaya (AS dan Rusia) untuk bersatu padu dengan mengirimkan pasukan dan peralatan senjata mutakhirnya untuk bahu membahu bersama kaum syiah (Irak, Iran, Syria, Lebanon) untuk merebut kembali kawasan yang dikuasai ISIS yang notabene adalah kawasan kilang minyak. Sungguh sangat disayangkan jika niat yang tinggi, malah membukakan kesempatan bagi bangsa lain untuk menjarah kekayaan negara sendiri, akibat ekstrimisme yang di luar peri kemanusiaan.
Apakah ISIS mampu bertahan ? Jika melihat persenjataannya yang mayoritas impor dari negara-negara besar tadi, sepertinya ISIS memiliki jaring ketergantungan terhadap lawan yang tidak mudah diurai seperti yang telah dilakukan HAMAS.
HAMAS rupanya mendahulukan kemandirian teknologi pertahanan sebelum berkonfrontasi. Perang demi perang, selalu HAMAS berhasil menampilkan kejutan terbaru atas inovasinya. Apa yang dicapai HAMAS saat ini bukanlah capaian tiba-tiba, namun hasil dari perbaikan demi perbaikan yang menggunakan tahapan yang jelas. Berbeda dengan ISIS yang lebih menitikberatkan pada hasil instan, yang harus ditempuh dengan segala cara dan cenderung memaksa. Coba kita bandingkan dengan strategi HAMAS yang membangun struktur masyarakat Gaza secara gradual, dan melaksanakan syariat Islam menyesuaikan dengan kesiapan mental masyarakat.
Dari perang kali ini ada dua sifat mulia yang muncul khas milik rakyat Gaza yang membuat rakyat seluruh dunia trenyuh dan kagum, yaitu kesabaran dan pengorbanan. Target utama israel untuk membuat legitimasi HAMAS di mata masyarakat Gaza, gagal total. Seluruh rakyat tidak ada yang mengeluh terhadap perang ini, bahkan tampaknya semakin bulat mendukung kebijakan HAMAS. Dan jika kesadaran ini mengkristal pada rakyat West Bank, perang Gaza ini hanya akan menjadi pembukaan bagi mimpi buruk-mimpi buruk berikutnya yang tidak akan mungkin bisa dihandle oleh Israel sendirian.
4. Khilafah adalah solusi
"Khilafah jika terbentuk, akan mampu mengurangi bahkan mencegah jatuhnya korban kaum muslimin di manapun berada." Jargon di atas memang menjadi komoditi yang efektif untuk menjaring massa. Namun jargon tetaplah jargon yang tidak akan menemukan bentuk perwujudannya di muka bumi, jika mayoritas umat muslim tidak siap menerima kehadirannya. Umat sunni harus mampu merekonstruksi dirinya, menyamakan persepsi atau pandangan politik umat islam dan segera melahirkan kesepakatan mengenai konsep kekhilafahan dan kemandirian militer umat yang menjadi kunci jawaban untuk mengeradikasi fenomena semacam ISIS.
Ide khilafah berbentuk union atau perserikatan, adalah sebuah ide yang cemerlang untuk mengatasi perbedaan kesiapan umat untuk menerima keberadaan khilafah. Namun pandangan seperti ini pun hanya akan menjadi kenyataan jika telah ditelaah dan diterima oleh mayoritas ormas-ormas Islam di dunia, seperti tradisionalis, progresifis, modernis, salafis, NU, Muhammadiyah dan pergerakan-pergerakan lainnya. Intinya, kekhilafahan ini hanya akan terbentuk jika fase ahlil-halli-wal-'aqdi (musyawarah antar semua elemen umat islam) telah dijalankan. Tanpa fase ini, besar kemungkinan hanya lingkaran chaos yang penuh darah yang akan terjadi, dan umat sunni akan selamanya menjadi masyarakat kelas bawah tak berdaya yang akan terus dihisap kekayaannya. Na'udzubillahi mindzalik.
Namun, alhamdulillah, peristiwa dahsyat Gaza di bulan Ramadhan 2014 ini menjadi titik balik bagi kaum sunni, yang sedikit banyak memberikan titik cerah dan harapan setelah Arab Spring meredup dan sepertinya akan berubah menjadi Arab Summer, atau Islam Revival. Amin
Terima kasih rakyat Gaza... pengorbananmu tidak akan kami sia-siakan. Umat Islam akan bangkit menghapuskan penjajahan di tanah muslim, dimulai dari mesjidil Aqsa. Semoga.
Moyo
0 komentar :
Posting Komentar